Oleh Mohammad Fauzil Adhim
Pengantar:
Artikel berikut ini merupakan tulisan
pertama dari serial tulisan berkesinambungan tentang pendidikan yang dimuat di
majalah Hidayatullah, mulai edisi ini, Februari 2012. Tulisan yang saya posting
di bawah ini merupakan versi orisinal. Jika ingin membaca versi yang lebih
renyah, bahasanya lebih lincah, ada sedikit pemotongan tapi sama sekali tidak
mengganggu dan bahkan efektif, silakan baca di majalah Hidayatullah.
Mohon do'anya agar dapat menuliskannya
secara tuntas dan memadai. Tulisan berseri ini kira-kira akan saya tulis dalam
4 atau 8 edisi.
Terima kasih kepada redaksi Majalah
Hidayatullah yang telah mengizinkan tulisan ini di facebook ketika bulan edisi
majalahnya masih berlaku. Semoga Allah Ta'ala berikan barakah dan rahmat-Nya
bagi keluarga besar majalah Hidayatullah.
"""
Tanpa pembentukan adab yang kuat, tak ada
alasan mendasar untuk memasukkan anak di sekolah berasrama (boarding school).
Inilah pilar pendidikan yang harus mendapat perhatian utama. Ini pula yang
harus ditegakkan pertama kali sebagai bagian dari tarbiyah. Ibarat tanah, kita
siapkan lahannya dulu sebelum kita tanami. Ibarat sawah, kita olah dulu
sehingga menjadi lahan yang subur untuk menyemai berbagai bentuk kebaikan dan
'ilmu. Tanpa ta'dib dan tarbiyah, tak ada pembeda yang sangat penting dengan
sekolah yang berangkat pagi pulang sore, kecuali bahwa anak-anak itu tinggal di
tempat yang sama, yakni asrama. Tanpa tarbiyah dan ta'dib, sekolah asrama hanya
menyediakan tempat menginap, tapi bukan pesantren. Sebagaimana, sekarang telah
banyak pondok pesantren yang telah kehilangan kata pesantren, sehingga yang
tersisa tinggal pemondokannya saja.
Pembentukan adab juga harus menjadi
bagian sangat penting dari sekolah sehari penuh (fullday), terlebih ketika
berani menempelkan kata islam pada model sekolahnya; apakah islam terpadu,
islam integral, islam plus atau apa pun itu. Tanpa ada proses ta'dib yang
serius dan terencana, pilihan kita memasukkan anak ke sekolah sehari penuh
boleh jadi justru bukan menempa anak agar menjadi pribadi yang baik dan matang,
tetapi justru menjerumuskan. Keburukan itu akan lebih besar lagi pengaruhnya
pada sekolah berasrama, sebagaimana kebaikannya juga sangat besar jika tertata
dengan sangat baik dan penuh kesungguhan.
Boleh jadi selama di asrama anak-anak
terbiasa berperilaku sopan dan bertutur santun. Tapi tanpa proses ta'dib yang
matang, kebaikan dalam berperilaku maupun bertutur hanyalah kebiasaan tanpa
dasar, tanpa pilar. Mereka baik karena lingkungan kondusif untuk berbuat baik.
Mereka baik karena lingkungan kurang memungkinkan berbuat buruk atau bahkan
tidak memungkinkan berbuat jelek. Tapi jika hati tak mengingini, kecintaan
terhadap perbuatan baik itu tidak tumbuh dengan kokoh, maka ia akan mudah
hilang tanpa bekas begitu keluar dari lingkungan tersebut. Berbagai kebiasaan
baik tersebut berubah drastis bukan karena pengaruh lingkungan, tetapi karena
sedari awal anak-anak memang tak mengingini kebaikan tersebut, sementara upaya
menanamkan kecintaan nyaris tak ada. Salah satu sebabnya, kita menganggap bahwa
penjelasan telah cukup untuk menyadarkan. Padahal beda sekali antara faham dan
sadar. Penjelasan itu memahamkan, bukan menyadarkan.
Lalu, kapan ta'dib perlu kita berikan
kepada anak? Sepanjang masa. Selama mereka masih di asrama, selama itu pula
proses ta'dib dan tarbiyah berlangsung secara terus-menerus dan berkelanjutan.
Tetapi untuk sebuah perubahan terencana, tiga bulan pertama merupakan masa yang
amat penting untuk melakukan ta'dib. Inilah masa yang paling strategis. Kita
dapat melakukan perubahan kapan saja, tetapi saat paling tepat untuk melakukan
perubahan mendasar adalah masa awal masuk asrama atau sekolah. Inilah masa
penting membentuk sikap, menanamkan nilai, membangun orientasi belajar dan
orientasi hidup. Inilah masa paling berharga untuk membangun adab yang baik dan
kuat dalam diri anak.
Jadi, awal di asrama sepatutnya kita
manfaatkan secara serius untuk membangun hal-hal mendasar yang diperlukan oleh
siswa, baik dalam menuntut ilmu maupun dalam mengarungi hidup yang amat
panjang. Orientasi kampus bisa saja kita lakukan. Tapi itu bukan yang
terpenting. Jika kita mendirikan sekolah untuk sebuah tujuan ideologis yang
sangat idealis, jangan segan meninjau ulang apa-apa yang tampak telah lumrah
dilakukan berbagai lembaga.
Apa yang perlu kita perhatikan dalam
proses ta'dib? Pembiasaan dan bahkan pemaksaan atau pengharusan berperilaku
sesuai tuntunan (mulazamah), pendampingan sehingga apa yang berat terasa lebih
ringan, penyampaian ilmu sehingga anak tak sekedar terbiasa melakukan, dan yang
tak kalah pentingnya adalah targhiib wat tarhib. Jika penjelasan memahamkan
anak apa-apa yang sebelumnya tidak ia pahami, maka targhiib wat tarhib kita
berikan untuk menumbuhkan kesadaran. Dua hal ini, paham dan sadar, merupakan
perkara penting yang berbeda ranahnya. Paham itu berada pada ranah kognitif,
sementara sadar merupakan jenjang terendah ranah afektif.
Mengapa dua hal ini harus kita berikan
secara berbarengan (simultan)? Sekedar paham, sematang apa pun pemahamannya
hingga mampu menjelaskan secara gamblang dan memuaskan, tidak berpengaruh pada
sikap maupun perilaku. Bukankah orang-orang Yahudi banyak yang memahami Islam
dengan baik, tetapi mereka tidak bersedia tunduk kepada petunjuk? Sementara
kesadaran tanpa mengilmui membuahkan keinginan untuk berbuat, tetapi tanpa
terasa bisa terlepas dari tuntunan. Bukankah telah berlalu orang-orang sebelum
kita yang gigih beramal tapi terlepas dari kebaikan karena jauh dari petunjuk?
Maka, keduanya harus ada: pemahaman dan kesadaran. Keduanya ditumbuhkan
berbarengan dengan proses pembiasaan, pendampingan dan pengasuhan.
Jika ranah afektif telah tersentuh,
kesadaran telah tumbuh, maka hadirnya pemahaman akan menguatkan keyakinan,
Semakin kuat ia memegangi nilai, menginternalisasikan dalam dirinya, lalu
perlahan ia mengikatkan diri pada nilai tersebut (organizing) dan pada akhirnya
semoga sampai pada jenjang karakterisasi diri. Dus, karakterisasi diri
merupakan proses panjang. Ia bermula dari kesadaran, memunculkan keinginan
berbuat sesuai apa yang ada dalam kesadarannya, menghayati nilai-nilai itu,
mengikatkan diri pada nilai atau sistem nilai tersebut dan pada akhirnya
mencapai karakterisasi diri.
Sungguh, kebohongan besar dan dusta keji
jika ada yang menawarkan kiat praktis membentuk karakter hanya dalam waktu dua
hari!
Merebut Masa Awal Sekolah
Kembali pada pembahasan tentang ta'dib.
Tiga bulan pertama merupakan masa paling penting bagi pembentukan 'adab yang
berperan sangat penting bagi proses pembentukan iklim kelas dan budaya sekolah
di kemudian hari. Selama tiga bulan, kegiatan akademik diminimalkan, terutama
di asrama. Fokus kegiatan ada pada ta'dib dan tarbiyah. Bukan ta'lim.
Saya pernah mengusulkan program semacam
ini kepada sebuah sekolah dasar, tetapi belum pernah benar-benar menyampaikan
secara detil apa saja yang harus dilakukan pada tiga bulan pertama. Baru
kulit-kulitnya saja bersebab ada gejala program tersebut terlalu tergesa-gesa
dipasarkan sebagai proyek pelatihan oleh sebagian orang sebelum konsepnya
benar-benar dipahami dengan matang. Ini tentu saja kontraproduktif bagi sebuah
proses ta'dib. Sebuah pelatihan haruslah diilmui secara matang. Jauh lebih baik
lagi jika ia dikuati pengalaman lapangan yang sangat kaya, termasuk bagaimana
mengatasi masalah yang terjadi selama proses implementasi berlangsung. Jika
gagasan selintas sudah menjadi program pelatihan, hampir pasti yang terjadi
hanya pencitraan atau permainan saja. Dan hari ini, betapa banyak pelatihan
yang sebagian besar isinya adalah ice breaking berupa hiburan. Padahal konsep
awal ice breaking adalah upaya memecah kebekuan hanya jika peserta sudah jenuh
dan lelah.
Apakah sekolah harus mengambil waktu
sedemikian lama hanya untuk membentuk adab? Ada dua jawaban sederhana. Pertama,
ibarat menanam padi, pembentukan adab merupakan proses penyiapan lahan agar
tanaman yang kita semai dapat tumbuh subur. Keberhasilan pembelajaran dan
pembentukan budaya sekolah sangat dipengaruhi oleh kuat lemahnya 'adab pada
pribadi tiap siswa. Pembicaraan ini terasa lebih mendesak mengingat banyak anak
masuk sekolah berasrama tanpa bekal adab dan mental yang memadai dari rumah.
Kita bisa melaksanakan proses pembiasaan dalam waktu lebih singkat. Tetapi
sulit berharap bisa terpatri lebih dalam, terbangun lebih kokoh. Kedua,
kerepotan mengurusi siswa akibat lalai menyiapkan adab mereka di awal jauh
lebih panjang dan melelahkan, sehingga mengkhususkan waktu di awal (khususnya
di asrama) akan sangat bermanfaat. Selain itu, jika mereka telah memiliki adab
yang kuat serta menghayati fadhilah ilmu maupun menuntut ilmu, kita bisa
berharap mereka akan memiliki sikap belajar serta orientasi studi yang baik.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Lalu, apa saja ruang lingkup adab yang
perlu kita perhatikan? Do'akan saya. InsyaAllah bulan April saya hadir kembali
untuk membahas, tetap di rubrik ini: Kolom Parenting Majalah Hidayatullah.
Sesudahnya, kita berbincang telah fadhilah ilmu dan menuntut ilmu.
""" Majalah Hidayatullah
edisi Maret insyaAllah memuat tulisan saya bertajuk Pilarnya adalah Adab. Masih
rangkaian dari tulisan ini.
Sumber: http://salinantulisanfauziladhim.blogspot.com/
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon