Titi Wahyuni adalah salah satu guru SM3T
(Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal) UNY yang
ditempatkan di SMPN 1 Malinau Barat, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Di
sekolah ini, entah bermula dari siapa, mereka biasakan menggunakan Bahasa
Inggris, seperti kata sapaan orang, kata sapaan waktu, ucapan terima kasih, dan
ijin ke luar kelas misalnya. Walaupun awalnya terasa ganjil, namun lama
kelamaan menjadi terbiasa merespon
sapaan para siswa. Titi mengajar IPA terpadu 9 kali per minggu di 3 kelas,
kelas VII-1, kelas VII-2, dan kelas VII-3. Kelas-kelas ini merupakan kelas yang
berisi siswa-siswa kategori pandai atau biasa disebut kelas kondusif.
Alumni prodi Pendidikan Biologi FMIPA UNY
tersebut berkisah bahwa sudah ada beberapa siswa yang dikembalikan ke wali
murid padahal dia belum ada 2 bulan penugasan. “Alasan pengembalian beraneka
macam,” kata Titi. “Mulai dari tergolong ringan seperti merokok di lingkungan
sekolah, hingga kategori berat seperti melakukan tindakan criminal.”
Awal mula Titi mengajar sering kaget
melihat sanksi yang diberikan terhadap siswa yang melanggar tata tertib seperti
tidak memakai sepatu berwarna cerah, kaos kaki kurang tinggi, kaki bertato
tinta pulpen. Ada beberapa guru yang ketika bertutur kata siswa menjadi diam,
memperhatikan, termasuk salah satunya terkenal dengan hukuman berupa tendangan
dimana sekali tendang, siswa laki-laki dapat meneteskan air hangat di sudut
mata. “Tiada hari tanpa siswa yang melanggar, itulah tempat divmana saya
belajar sebagai seorang pendidik,” tutur Titi.
Sebagai guru yang masih awam, Titi
berusaha melakukan pendekatan-pendekatan terhadap siswa-siswa di kelas karena
ingin kelasnya tertib dan hidup. Menurut pengamatannya, daya tahan konsentrasi
mereka sungguh mengagumkan. Aktifitas fisik lebih dominan dari pada aktifitas
mental termasuk internalisasi karakter unggul sehingga Titi memikirkan strategi
mengajar yang tepat.
“Saya terus mencoba, mulai dari cara
tegas, cara halus, sampai cara adat sekolah hukum fisik sudah saya coba”
katanya. Ketika siswa ribut, guru hanya cukup marah dan meninggalkan kelas,
kemudian guru piket akan memanggil siswa-siswa yang telah menyebabkan guru itu
marah. Siswa tersebut akan diadili di meja piket, di depan kantor, dan di depan
guru.
Secara fisik, para siswa lebih besar dari
pada Titi Wahyuni, namun itu tidak membuatnya takut. Menurut Titi di Malinau
ini dia tidak hanya membelajarkan siswa, tetapi juga belajar mental. Pernah
suatu hari Titi mengajar di kelas ada dua siswa yang tiduran di lantai. Dan
setelah istirahat, ternyata wali kelasnya menangkap basah, siswa tersebut
membawa minuman keras.
“Saya miris juga setelah mengetahui
mereka bisa melakukan perbuatan-perbuatan seperti itu” ujar Titi. Dia pun
pernah marah dan pernah menjemur satu kelas. “Guru-guru memandang saya lembek,
siswa-siswi di sini memperlakukan saya layaknya teman sebaya,” katanya. “Saya
geram juga, sesekali saya ingin bersikap tegas.”
Sekarang Titi tidak segan lagi bersikap
terhadap siswanya. “Saya ingin mereka merasakan kasih sayang seorang guru,
menyalurkan energi bukan perintah, kadang tegas, halus, wajar dan kalau mereka
kelewat batas saya akan marah,” tutupnya. (dedy)
Sumber: uny.ac.id
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon